Sunday, August 26, 2007

TEKNOLOGI JAMBAN YANG TEPAT BAGI MASYARAKAT

Upaya merubah pandangan dan perilaku masyarakat tidaklah mudah. Pengalaman melakukan transek sarana sanitasi dasar (jamban) menunjukkan model jamban tertentu tidak cocok dengan kondisi sosial budaya dan lingkungan setempat. Berbagai model kemasan (paket) yang diberikan pemerintah maupun lembaga non-pemerintah, banyak yang hanya menjadi monumen, tidak terawat dan tidak diminati. Sementara model Kamal Khar yang diberi nama Community Led Total Sanitation (CLTS) dimana masyarakat membangun dan mengembangkan jamban sendiri tanpa masukan apapun dari luar, untuk daerah yang rawan air diperkirakan mempunyai resiko tertentu sehingga perlu dilakukan adaptasi. Model jamban seperti apakah yang sesuai dan pantas dikembangkan sehingga bisa diminati masyarakat?.

Kasus Beberapa Desa
Model jamban yang selama ini dikembangkan memiliki syarat mutlak yaitu ketersediaan air, sehingga untuk daerah tertentu yang rawan air akan sulit diterapkan. Di sisi lain bila masyarakat mengembangkan model sendiri sesuai kondisi lingkungannya, pengetahuan mereka tidak cukup untuk bisa mengembangkan model yang higienis. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur, banyak penduduk yang tinggal di perbukitan sedangkan sumber airnya berada di bawah. Daerah seperti inilah yang rentan terjadinya wabah diare. Untuk mengambil air yang lokasinya jauh, mereka menggunakan jerigen plastik berkapasitas 5 liter.

Sehari, konsumsi air tiap keluarga yang jumlahnya antara 5 sampai 7 orang adalah 5 jerigen plastik atau 25 liter. Padahal secara normal konsumsi air tiap jiwa adalah 30 sampai 40 liter. Air sebanyak 25 liter nalarnya hanya cukup untuk masak dan cuci piring. Bagaimana mereka mandi? Kondisi ini tak beda dengan di Kabupaten Flores Timur, Sikka, dan Ende. Dengan menggunakan metode historic time lines dapat terungkap bagaimana mereka mendapatkan air dan tingkat konsumsi air per hari. Transek sarana air dan jamban saat melakukan assessment tersebut dapat dijelaskan bahwa tempat yang rawan air umumnya sarana sanitasi dasarnya tidak berkembang dan bila dipaksakan membangun jamban hasilnya justru tidak higienis.


Di beberapa desa seperti di Tamburi, Sumba Timur, yang pernah mendapatkan bantuan sarana jamban dari UNICEF, sarananya tidak dipakai bahkan sarana yang semula berjumlah 20 buah tinggal 10 buah। Sementara di Jawa, baik Jawa Barat maupun Jawa Tengah, yang mempunyai tradisi mebuat kolam air tawar, mempunyai kebiasaan membangun jamban di atas kolam sehingga kotorannya langsung menjadi santapan ikan। Mereka juga sulit untuk membangun jamban dengan tanki septik. Bahkan para pemilik kolam ikan di sebuah desa di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, rela membayar orang yang mau BAB (buang air besar) di jamban kolam milik mereka. Ada beberapa kondisi di daerah yang patut dipertimbangkan. Bagaimana seyogyanya membangun sarana jamban sehingga secara teknis memenuhi syarat kesehatan dan dari aspek lingkungan adaptable.

Model CLTS
Model CLTS yang dikembangkan Kamal Khar secara sederhana mengabstraksi prinsip-prinsip antara lain, mengandalkan partisipasi masyarakat secara aktif, tanpa subsidi dari luar, solidaritas sosial, dan kebanggaan masyarakat sebagai elemen motivasi। Model ini telah diterapkan di berbagai daerah dengan hasil yang luar biasa. Dalam waktu sekejap masyarakat membangun sarana jamban yang dikembangkan sendiri, mau merubah perilaku BAB di sembarang tempat, dan pertumbuhan pembangunan yang sangat pesat. Dalam hitungan bulan, penduduk desa telah memiliki jamban sehingga terbebas dari BAB di sembarang tempat. Model ini berhasil diterapkan di beberapa desa di Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Muara Bungo (Jambi), Bogor (Jawa Barat), Pandeglang (Banten), Lombok Barat (Nusa Tenggara Barat), dan sebagainya. Daerah yang menerapkan model CLTS relatif tidak menghadapi masalah air sehingga model apapun yang dikembangkan, apakah leher angsa, plengsengan, tidak ada masalah. Jamban bisa dipakai tanpa gangguan bau sehingga penggunaan akan merasa nyaman. Model Ecosan untuk Daerah Rawan Air Model jamban ecosan yang murni dikembangkan di RRC, belakangan memperoleh sambutan hangat. Model ini selain environmentally friendly dalam arti tidak mencemari dan merusak lingkungan juga higienis. Selain itu, model ini juga telah berhasil merubah apa yang semula di kategorikan sebagai waste. Teknologi ecosan pada prinsipnya terdiri dari beberapa komponen, yaitu pemisahan air seni dari faeses yang masing-masing ditampung dalam bejana terpisah, pemanfaatan air seni yang ditampung untuk pupuk tanaman, penaburan abu di faeses yang telah ditampung untuk proses pengeringan dan pengomposan, dan pemanfaatan kompos faeses untuk pupuk tanaman. Pupuk yang dihasilkan baik dari air kencing maupun faeses kering merupakan pupuk organik yang banyak mengandung nitrogen dan sangat diperlukan tanaman. Pupuk tersebut melalui proses penebaran abu sudah terbebas dari mikro organisme pathogen sehingga aman untuk ditebarkan di lahan pertanian. Masalahnya adalah apakah model ecosan bisa dikembangkan oleh masyarakat terutama di daerah kering dan rawan air? Apakah masyarakat mau merubah pandangan bahwa buangan manusia baik faeses maupun urin dari yang semula sebagai waste menjadi sumberdaya? Untuk merubah pandangan seperti itu perlu penjelasan dari orang yang memahaminya.

Mendekati Ecosan
Jamban di atas kolam ikan atau yang dibangun di dalam rumah tapi bermuara di kolam ikan juga pada dasarnya beberapa aspek rantai prosesnya sesuai dengan ecosan. Prinsipnya memanfaakan waste sebagai benda yang berdaya guna, yaitu untuk makanan ikan. Hanya disini tidak ada proses pengolahan tapi langsung sebagai makanan ikan, sehingga menjadi berbeda dengan ecosan. Produk ecosan setelah melalui proses pengeringan dan pengomposan menjadi pupuk organik yang bernilai ekonomi, sedangkan jamban di atas kolam produknya menjadi makanan ikan.

Bagaimanapun jamban di atas kolam ikan atau yang bermuara di kolam ikan belum bisa memenuhi prinsip environmentally friendly। Pembuangan langsung ke kolam telah menjadi sumber pencemaran air permukaan baik empang, sungai, danau, dan sebagainya। Pencemaran oleh bakteri Escherichia coli (e coli) bisa menjadi penyebab terjadinya penyakit diare। Apabila setelah dilakukan assessment masyarakat memang benar-benar mau menerapkan model ecosan untuk daerah kekeringan air, hal yang perlu dilakukan adalah membuatkan desain teknologi sederhana sehingga masyarakat mampu membangun, mengoperasikan, dan memeliharanya. Sedangkan untuk daerah yang masyarakatnya mempunyai kebiasaan, budaya, mengembangkan kolam ikan tawar dan membuat jamban di atas kolam, maka yang perlu dilakukan adalah membuatkan model yang higienis dengan mengintervensi pada rantai prosesnya, sehingga menjadi environmentally friendly. (Alma Arief, Juli 2007,Percik).